JAKARTA – Ketimpangan sosial ekonomi individu dan kemiskinan di suatu wilayah menjadi topik yang paling banyak diteliti serta terdapat bukti yang jelas dan konsisten mengenai gradien sosial dalam prevalensi kondisi gigi, dampak kesehatan mulut yang buruk, dan penggunaan layanan.
Menanggapi hal itu, drg. Tb. Iman Wahyu Kusumadirja pun sepakat dengan kondisi tersebut, otomatis pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat menjadi hal utama yang harus diperhatikan dibandingkan dengan kesehatan gigi dan mulut.
“Terutama juga mungkin dari segi pengetahuan, pendidikan itu juga sangat mempengaruhi. Jadi saya rasa normal, semua orang pasti akan memikirkan kebutuhan utamanya mereka, kesehatan secara umum, lalu baru kesehatan gigi,” kata Iman kepada REQnews.com pada Senin 2 Desember 2024.
Selain itu, menurutnya dampak pada penggunaan layanan juga berpengaruh, karena selama orang tidak memikirkan pentingnya kesehatan gigi, otomatis penggunaan terhadap layanannya pun rendah.
“Kenapa sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi kualitas layanan? Karena kita tahu bahan alat kedokteran gigi untuk menciptakan fasilitas pelayanan itu juga, mayoritas adalah produk-produk impor. Jadi, tentu saja itu akan mempengaruhi karena mulai dari standar semakin tinggi. Apabila standar ini semakin tinggi, maka otomatis biaya layanan akan semakin besar. Saya rasa itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, sebelumnya terdapat jurnal penelitian gigi yang menyoroti fakta menarik mengenai kerugian finansial yang disebabkan oleh penyakit gigi. Sehingga, kondisi medis ini menyebabkan kerugian secara tidak langsung di seluruh dunia senilai $144 miliar setiap tahunnya. Di sisi lain, biaya tahunan langsungnya ditemukan sekitar $298 miliar.
Meskipun mengaku belum pernah membaca jurnalnya, Iman mengaku kaget dengan angka tersebut. Menurutnya, dengan kondisi penyakit gigi dan mulut yang semakin banyak, otomatis kerugian juga akan semakin besar yang didapat.
“Karena otomatis biaya pelayanan apabila dikalikan dengan beberapa jumlah orang yang mengalami sakit gigi dan mulutnya, pasti otomatis akan mempengaruhi jumlah biaya yang dilakukan. Lalu apa pengaruhnya biaya langsung dan tidak langsung? yang langsung mungkin adalah biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan dan sebagainya, biaya tidak langsung adalah apa yang kalau ekonomi bilang itu adalah opportunity cost,” lanjutnya.
Sehingga menurutnya, otomatis orang tidak akan nyaman melakukan kegiatan yang produktif ketika sedang mengalami sakit gigi. “Saya kira ya mungkin saja, cuman saya tidak bisa tahu pasti, apakah angkanya sebesar itu, tapi ya pasti akan ada kerugian yang banyak didanai,” tambahnya.
Selanjutnya, ada sebuah penelitian yang menyebut bahwa akibat sakit gigi dan mulut dalam rata-rata per tahun telah terjadi potensial loss kehilangan kerja sebanyak 3,86 hari kerja per orang per bulan. Sebanyak 62,4 persen penduduk merasa terganggu pekerjaan dan sekolahnya karena sakit gigi, yang kemudian berakibat pada kerugian ekonomi.
Ia pun setuju dengan bahwa penyakit gigi menimbulkan kerugian bagi masyarakat, karena otomatis waktu produktif orang akan berkurang, yang tadinya bisa bekerja jadi tidak bisa bekerja karena suatu kondisi seperti sakit yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat melakukan suatu kegiatan yang produktif.
“Tapi untuk angkanya saya tidak bisa mengkonfirmasi karena saya belum baca laporannya. Tapi ya biaya pasti selain kerugian dan pastinya orang tidak bisa produktif karena tidak bisa bekerja,” kata Iman.
Kemudian, ditemukan adanya fakta bahwa anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan tinggi memiliki lebih banyak peluang untuk mengakses perawatan gigi, termasuk penilaian diagnostik yang lebih spesifik dan memiliki satu atau lebih gigi yang ditambal.
Dijelaskan bahwa beberapa perbedaan dalam kesehatan mulut dan gigi karena status sosial ekonomi. Lalu, prevalensi karies yang lebih tinggi pada status sosial ekonomi rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya layanan pencegahan dan pengobatan serta pola makan yang buruk dan tinggi gula.
Sehingga, penting bagi anak-anak dan orang tua mereka dengan status sosial ekonomi rendah untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan mulut, peningkatan kesadaran, dan bimbingan untuk lebih banyak menggunakan layanan pengobatan.
Iman mengatakan bahwa prevalensi karies lebih banyak kepada orang yang ekonominya lebih lemah. Ia menyebut bahwa urutan mengenai pembiayaan kehidupan pokok terlebih dahulu yang dipenuhi.
“Makanya sering ada istilah, ‘cuma gigi lah yang lain dulu’, ada yang dianggap lebih penting. Tapi ternyata dari data-data yang disebutkan sebelumnya bahwa luar biasa ya, ternyata kerugian yang disebabkan oleh penyakit gigi dan mulut, lalu kehilangan waktu produktif karena penyakit gigi dan mulut luar biasa,” kata dia.
Sementara itu, kalangan yang lebih mampu akan menambal gigi karena aksesnya lebih mudah.
“Lalu apakah pola makan buruk dan gigi gula mempengaruhi prevalensi karies? Ya jelas, jadi kita ini kan tubuh kita butuh asupan-asupan yang baik untuk memperbaiki diri dan berkembang,” lanjutnya.
Sehingga menurutnya, dengan kondisi masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi, pengetahuan dan informasi yang baik, mereka akan mementingkan menjaga kesehatan gigi dan mulut.
“Pasti mempengaruhi, apalagi kondisi dengan tinggi gula. Jadi saya rasa yang paling penting ditingkatkan adalah pengetahuan atau informasi mengenai penyakit kesehatan gigi dan mulut. Karena prevalensi kariesnya itu bisa ditekan, mungkin tidak bisa dihindari, tapi bisa dikurangi,” sambungnya.
Iman pun memberikan tips kepada masyarakat agar tetap menjangkau perawatan gigi dan mulut di tengah kondisi perekonomian global dan Indonesia tidak menentu, yang menyebabkan akses perawatan gigi pun menjadi terbatas karena kondisi ekonomi masyarakat.
Ia mengatakan bahwa hal yang paling utama adalah menjaga kondisi kesehatan gigi dan mulut. Para petugas kesehatan, khususnya negara bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga kesehatan gigi.
“Otomatis kita bisa menekan prevalensi dari karies atau penyakit gigi dan mulut lainnya,” tambahnya.
Selain itu, dukungan pemerintah terutama untuk kalangan sosial ekonomi yang lemah, harus dipermudah dan diperbanyak.
“Selain itu juga mungkin ada baiknya, kalau misalnya pemerintah khususnya melalui kebijakan untuk alat-alat dan bahan kesehatan yang kita tidak bisa produksi sendiri dan harus import,” katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah agar kategori alat-alat medis bisa direndahkan biaya-biayanya, seperti biaya masuk, pajak dan sebagainya. Menurutnya, hal tersebut dilakukan agar daya beli masyarakat yang semakin menurun karena ketidakpastian ekonomi di global atau di Indonesia, bisa terbantu.
“Saya rasa itu yang perlu dilakukan, seperti mungkin negara-negara tetangga juga ada yang membuat pajak nol untuk biaya masuk dan pajak nol untuk alat medis dan bahan medis dalam hal ini terutama berhubungan dengan kedokteran,” kata Iman.
Lebih lanjut Iman menilai bahwa menjaga kebersihan gigi adalah kunci utama, karena menurutnya lebih baik mencegah daripada mengobati.
“Saya rasa itu adalah prinsip yang tepat, otomatis kalau kita bisa menjaga kebersihan, otomatis kita menjaga kesehatan. Lalu bagaimana dengan perawatan yang bisa dilakukan oleh masyarakat? Jadi kita cegah dulu pertama, lalu yang kedua setelah itu misalnya kita punya pengetahuan dan informasi tentang suatu penyakit yang umum lah di masyarakat seperti misalnya karies gitu ya atau gigi berlubang,” tambahnya.
Iman menilai bahwa perlu adanya kesadaran masyarakat untuk mengetahui mengenai pencegahan penyakit pada gigi dan mulut. Jika terdapat gigi berlubang, segera ditangani, jangan menunggu lubangnya menjadi besar dan sakit.
Terakhir, menurutnya masyarakan harus melakukan pencegahan dan penyadaran mengenai penyakit gigi dan mulut sedini mungkin.
“Dengan informasi dan pengetahuan, oh ini tuh karies, oh ini apa? Langsung diperiksakan dan ditangani pada saat kondisinya masih dini. Untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang lebih besar, saya rasa itu,” ujarnya.